Archive for Juni 1, 2010


Dalam situasi memilukan seperti yang terjadi di Palestina saat ini, kita sering terjebak pada ketergesaan dan kecerobohan. Namun dalam sebuah kesempatan, saya diingatkan oleh seorang ustadz akan pentingnya do’a, dan tentu ini bukan lip service atau basa-basi.

Kerap kali kita mendengar nada-nada meremehkan pada kekuatan sebuah do’a, misalnya ungkapan seperti: ”jangan cuma do’a”, ”tidak cukup dengan do’a”, atau ”hanya do’a yang kita punya” dan sebagainya. KIta sering terjebak pada materi, bahwa bantuan material lebih penting dari do’a. Padahal jika hanya materi negara-negara Eropa tak kurang besar bantuannya, “orang-lain” pun melakukannya, mungkin lebih besar dari kita yang memang tak punya lebih banyak. Namun yang jelas, mereka tidak melakukan do’a, tak ada harapan yang mereka tujukan pada Allah zat yang berhak diharapkan pertolongannya. Bantu sebisa mungkin dengan materi apa saja, namun do’a adalah perkara yang tidak boleh disepelekan bagi ummat beriman.

Do’a adalah senjatanya bagi orang-orang beriman : “Ad-Du’aa silaahul mu’miniin”, bahkan Rasulullah SAW. Mengatakan bahwa do’a adalah pangkal segala ibadah:

“Doa adalah pangkal (otak)-nya Ibadah.” (HR. Tirmidzi)

Sungguh, telah rapuh aqidah kita jika meremehkan do’a. Sebab keyakinan pada do’a adalah keyakinan pada Allah sebagai Pelindung dan tempat meminta. Nabi SAW dalam kesempatan lain menggambarkan kedudukan do’a seorang mu’min:

“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah, selain daripada doa.” (HR. Ibnu Majah dan Abu Hurairah)

“Siapa saja yang tidak mau memohon (sesuatu) kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” (HR Tirmidzi dari Abu Hurairah)

“Mintalah kepada Allah akan kemurahan-Nya, karena sesungguhnya Allah senang apabila dimintai (sesuatu).” (HR Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud)

Hadits-hadits tersebut di atas menunjukkan urgensi dan keharusan berdoa yang berupa Permohonan hamba kepada Tuhannya, untuk mendapatkan sesuatu.

Tentu saja, jika do’a sepenuh hati sudah dipanjatkan maka bentuk bantuan lain berupa harta benda, waktu, suara, dan tenaga harus dioptimalkan semampu kita, namun jangan remehkan urgensi do’a. Tentu saja, bukan do’a sebarang do’a. Do’a seorang hamba yang dipanjatkan dengan ikhlash dan diijabah tentu akan jauh lebih bernilai dari uang jutaan dolar, meski akan lebih baik jika keduanya dilakukan.

Kekuatan sebuah do’a bagi seorang mu’min merupakan sesuatu yang pasti. Semakin tebal keimanan seorang mu’min, maka tak mungkin ia meremehkan do’a. Meskipun Israel memiliki ribuan pasukan terlatih, mesin dan senjata modern, dan di sisi lain ummat Islam di Palestina hanya bersenjatakan batu dan roket sederhana, namun kekuatan dan kedahsyatan doa adalah pengimbang dan penentu bagi orang beriman.

Doa-doa adalah senjata para Nabi dan para ‘ulamaa. Do’a lah senjata yang mampu menyelamatkan Nuh as dengan diturunkannya banjir. Melalui do’a Nabi Sholeh as selamat dari dzalimannya kaum Tsamud. Do’a juga senjata yang menyelamatkan Musa as. Melalui do’a Nabi Sholeh as selamat dari kedzoliman kaum Tsamud, melalui do’a juga Nabi Hud as selamat dari kaum ‘Aad. Dan tentu saja di berbagai keadaan kritis, do’a lah yang menyelamatkan serta memberikan kemenangan kepada Rasulullah SAW dan para sahabat.

Do’a lebih bermanfaat dari kutukan, meski kecaman pun sebuah ungkapan solidaritas. Do’a lebih penting dari demonstrasi, meski demonstrasi pun merupakan perangkat berjuang yang bermanfaat dan penting.

Teruslah berdo’a untuk Palestina dan seluruh ummat Islam setiap kesempatan. Siapa tahu anda adalah salah satu hambanya yang diijabah, meski hanya do’a sederhana :

“Allahummanshur ikhwaana al-mujahidiina fii Filistin (Ya Allah tolonglah saudara-saudara kami mujahidin di Palestina).”

سلسلة كتب الإمام الحداد (8)
***************************
******** كتاب الحكم ********
***************************

تأليف

الإمام شيخ الإسلام قطب الدعوة والإرشاد
عبد الله بن علوي بن محمد بن أحمد الحداد
الحسيني الحضرمي الشافعي
رحمه الله تعالى
(1044-1132هـ)

الناشر دار الحاوي للطباعة والنشرو التوزيع
الطبعة الأولى سنة 1413هـ
الطبعة الثانية سنة 1418هـ

بسم الله الرحمن الرحيم

(قَالُوا سُبْحانَكَ لا عِلمَ لَنا إلاَّ ما عَلَّمتَنا إِنَّكَ أَنتَ العَليمُ الحَكيمُ)
[سورة البقرة : 32 ]

الحمد لله الحنَّان المنَّان، دائم الإحسان والامتنان، الذي تقدست مواهبه عن التخصيص بمكانٍ أو زمانٍ، وعن الحصر في فلانٍ دون فلانٍ، جلَّ عن التَّقييد ذاتاً وصفاتٍ وأفعالاً فسُبحانه كل يومٍ هو في شأْنٍ.
…أحمده حمد من غرق في بَرِّه، فاعترف بالعجز عن القيام بشكره، وعن أن يقدره حق قدره بعد الإتيان بحسب الطاقة والإمكان، وصلاته وسلامه على خيرته من خلقه والمبعوث بخير الأديان، سيدنا ومولانا محمد وعلى آله وأصحابه في كل حينٍ وأوانٍ.
…أما بعد: فإني بعون الله قد عزمت بعد أن استخرت ربي على تقييد كلماتٍ وأمثالٍ وأبياتٍ، تَرِدُ عليَّ عند التَّذَكُّرِ والمذاكرة،
(1/7)
________________________________________
أرجو الانتفاع بها في الدنيا والآخرة، وقد جردت العزم على هذا الأمر مراراً، فلم تتم العزمة، ولم تنفذ الهمة، والسبب في ذلك بعد سابق القدر احتقار النفس، والاتكال على الحفظ والدرس، ثم إني لما رأيت أني نسيت من ذلك الشيء الكثير، ولم يبق منه إلا القليل اليسير، ورأيت الحاجة في بعض الأحيان تدعوني إلى ما دخل تحت دائرة النسيان، ووقفت على كلام للشيخ ابن عربي حاصله: أن الإنسان ترد عليه الأشياء في نهاية الطلب، ينبغي له أن يعتني بحفظها، لأنه سوف يحتاج إليها فيما بعد، وما وردت إلا لذلك، فعند ذلك صمَّمت على تقييد ما يخطر في البال، وإليه، أضيف إن شاء الله تعالى ما يكون في الاستقبال مُستثنياً بمشيئة الله تعالى النافذة، ومفوضاً إليه، ومتوكلاً عليه، وراغباً فيما لديه، ومعتصماً به:
(وَمَن يَعْتَصِم بِالله فَقَدْ هُدِيَ إِلى صِراطٍ مُستَقيمٍ) [ آل عمران : 101]
ثم إني أُعْلِمُ أخاً وَقَفَ على ما هنا؛ فرأى فيه مُقاربةً لكلام أحدٍ لفظاً أو معنىً ، أنَّ ذلك وقع بطريق الموافقة؛ إذ ليس بخافٍ أن من أثبت كلام أحدٍ، ولم يعزُهُ إليه أنه سارقٌ أو غاصبٌ، وكلاهما قبيحٌ، وهذا أوان الابتداء، أصلح الله النية، وصفَّى الطوية.
Baca lebih lanjut

Ciri yang khas dari warga Nahdhiyyin adalah tahlilan, membacakan Al Qur’an dan menghadiahkan pahalanya untuk keluarga atau teman atau kaum Muslimin. Hal demikian dikerenakan keyakinan mereka bahwa pahala bacaan dan dzikir yang diniatkan untuk dihadiahkan pahalanya itu sampai kepada si mayyit!

Praktik kaum Nahdhiyyin ini mendapat kecaman tajam dari kaum Salafiyyun alias Wahabi, para pengikut setia Ibnu Taimiah. Mereka menuduhnya sebagai praktik bid’ah yang sesat dan menyesatkan! Tidak pernah disyari’atakan dalam Islam! Dan Anda perlu tahu bahwa Islam sejati dalam pandangan kaum Wahabi adalah apa yang disampaikan Ibnu Taimiah! Apa yang diucapkan Ibnu Taimiah adalah Islam dan apa yang ditolak Ibnu Taimiah bukan dari Islam! Pendek kata, Ibnu Taimiah adalah barometer kebenara Islam!

Sekali lagi, jihad paling digemari kaum Salafiyyun adalah memberantas bid’ah sesat dan menyesatkan, dan tahlilan adalah praktik bid’ah yang sesat dan menyesatkan! Oleh kerena itu, kaum Salafiyyun alias Wahabi, berjuang mati-matian (ndak mati beneran) memberantas dan mengecam tahlilan ala NU. Kaum NU di mata kaum Salafi adalah ahli bid’ah, kuburiyyun (doyan ngalap berkah dari kuburan), maulidiyyun, istighatsiyyun, tawassuliyyun dll.

Pendek kata praktik tahlilan itu bid’ah! Yang melakukannya atau membolehkannya adalah ahli bid’ah…. titik!!!
Baca lebih lanjut

KH Sahal Mahfud, ulama asal Kajen, Pati, Jawa Tengah, yang kini menjabat Rais Aam PBNU, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.

Persoalannya adalah, apakah doa orang yang bertahlil akan sampai kepada mayit dan diterima oleh Allah? Jika diperhatikan dalam hadits bahwa Nabi SAW pernah mengajarkan doa-doa yang perlu dibaca untuk mayit:

عَنْ عَوْفٍ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ: صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَنَازَةٍ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ اِغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَاعْفُ عَنْهُ

“Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.”

Di dalam hadis, Nabi SAW pernah menyatakan;

يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ

“orang yang menyebut “la ilaha illa Allah” akan dikeluarkan dari neraka.”

Hadis ini menyatakan tentang keselamatan mereka menyebut kalimah syahadah dengan diselamatkan dari api neraka. Jaminan ini menandakan bahwa, menyebut kalimah syahadat merupakan amalan soleh yang diakui dan diterima Allah SWT.

Maka dengan demikian, apabila seseorang yang mengadakan tahlil, mereka berzikir dengan mengalunkan kalimah syahadah terlebih dahulu, kemudian mereka berdoa, maka amalan itu tidak bertentangan dengan syari’at, sebab bertahlil itu sebagai cara istighatsah kepada Allah agar doanya diterima untuk mayit.

Dari hadis tersebut juga dapat diambil kesimpulan hukum bahwa, doa kepada mayit adalah ketetapan dari hadits Nabis SAW maka dengan demikian, anggapan yang mengatakan doa kepada mayit tidak sampai, merupakan pemahaman yang hanya melihat kepada zhahir nash, tanpa dilihat dari sudut batin nash.

Tahlil atau tahlilan sudah menjadi tradisi kaum muslimin di Indonesia, utamanya warga Nahdlatul Ulama (NU) sebagai penganut paham Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) sebagai upaya bertawashul kepada Allah SWT untuk mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia atau ahli kubur pada umumnya,

Tahlil secara lughat berarti bacaan لاإله إلاالله (Lailaha illallah) seperti halnya Tasbih berarti bacaan سبحان الله (Subhanallah), Tahmid bacaan الحمد لله (Alhamdulillah) dan lain sebagainya.

Bahasa Arab kebanyakan selain mempunyai arti secara lughowi (bahasa) juga mempunyai arti secara istilahi atau urfi. Tasbih misalnya pengertian secara urfi ialah mengagumi dan mensucikan Allah sang Maha pencipta dari segala kekurangan dan kelemahan, yang direfleksikan dengan bersyukur, rasa takjub dan lain sebagainya yang diiringi dengan mengucapkan Subhanallah.

Demikian pula Tahlil dalam pengertiannya secara urfi atau islitahi ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengkui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah

لاإله إلاالله أي لامعبود بحق إلاالله

Artinya: Tiada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah, atau tidak ada pengabdian yang tulus kecuali kepada Allah

Kemudian di dalam melaksanakan bentuk pengabdian manusia sebagai hamba kepada Allah SWT, sudah barang tentu tidak cukup hanya dengan menyebut-nyebut asma Allah akan tetapi harus disertai prilaku-prilaku seorang hamba yang mentaati perintah perintah Allah serta menjauhi larangan larangan-Nya, dan perilaku tersebut digambarkan dalam rangkaian bacaan-bacaan pada tahlilan.

Jadi Tahlil dengan serangkaian bacaannya yang lebih akrab disebut dengan tahlilan tidak hanya berfungsi hanya untuk mendoakan sanak kerabat yang telah meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu Tahlil dengan serentetan bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat, Istighfar, kalimat thayyibah dan seterusnya memiliki makna dan filosofi kehidupan manusia baik yang bertalian dengan i’tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah, maupun gambaran prilaku manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di Dunia dan di akhirat kelak.

Tahlilan dari susunan bacaannya terdiri dari dua unsur yang disebut dengan syarat dan rukun, yang dimaksud dengan syarat ialah bacaan :
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5 الم ذلك الكتاب …….
5. Surat al-Baqarah ayat 163 والهكم إله واحد ……..
6. Surat al-Baqarah ayat 255 الله لاإله إلا هو الحي القيوم ……..
7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286 لله مافي السموات ……
8. Surat al-Ahzab ayat 33 إنما يريد الله ……..
9. Surat al-Ahzab ayat 56إن الله وملائكته يصلون على النبي ……..
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih

Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan :
1. Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan :واعف عنا واغفر لنا وارحمنا
2. Surat al-Hud ayat 73: ارحمنا ياأرحم الراحمين
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah لاإله إلاالله
6. Tasbih

إعلام الراكع الساجد
بمعنى
اتخاذ القبور مساجد

للإمام الحافظ الحجة أبي الفضل
عبد الله بن محمد الصديق الغماري

بسم الله الرحمن الرحيم
مقدمة

الحمد لله الواحد المنزه عن الصاحبة والولد لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفواً أحد ، والصلاة والسلام على سيدنا محمد النبي الأمين ، وعلى آله الطاهرين ، ورضي الله عن صحابته والتابعين ..
وبعد : فهذا جزء سميته (( إعلام الراكع الساجد بمعنى اتخاذ القبور مساجد )) تكلمت فيه على حديث (( لعن الله اليهود ، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد )) وشرحت معناه ، وبينتما فيه من أشكال لم ينتبه له جميع شراح الحديث فيما أعلم ، وأسأل الله التوفيق والسداد ، فهو الهادي إلى سبيل الرشاد ..
المؤلف
عبد الله الصديق الغماري

تخريخ الحديث
روي عن الشيخان وغيرهما عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم قال { قاتل الله اليهود اتخذوا من قبور أنبائهم مساجد } وفي رواية لمسلم { لعن الله اليهود } الحديث .
وروى الشيخان أيضاً عن عائشة وابن عباس صلى الله عليه وعلى آله وسلم قالا : لما نزل برسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم ، طفق يطرح خميصة له على وجهه ، فإذا اغتنم كشفها عن وجهه ، فقال وهو كذلك { لعنة الله على اليهود والنصارى اتخذوا من قبور أنبيائهم مساجد }
وفي صحيح مسلم عن جندب قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم قبل أن يموت بخمس وهو يقول { ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد أني أنهاكم عن ذلك } .
وللحديث طرق ستأتي إن شاء الله تعالى .
معنى الحديث اتخاذ القبور مساجد
السجود لها على وجه تعظيمها وعبادتها ، كما يسجد المشركون للأصنام والأوثان وهو شرك صريح .
وهذا المعنى ، منطوق اللفظ وحقيقته ، وثبتت أحاديثه مبينة له ومؤيدة منها :
حديث عائشة عن الشيخين قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم في مرضه الذي لم يقم منه { لعن الله اليهود والنصارى اتخذو قبور أنبيائهم مساجد } قالت : فلولا ذلك ، أبرزوا قبره ، غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً أي يسجد له .
قال القاضي عياض : شدد في النهي عن ذلك ، خوف أن يتناهى في تعظيمه ، ويخرج عن حد المبرة إلى حد النكير فيعبد من دون الله عز وجل ، ولذا قال صلى الله عليه وعلى آله وسلم { اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد } لأن هذا الفعل كان أصل عبادة الأوثان ولذا لما كثر المسلمون في عهد عثمان واحتيج إلى الزيادة في المسجد وامتدت الزيادة حتى أدخلت فيه بيوت أزواجه صلى الله عليه وعلى آله وسلم ، أدير على القبر المشرف حائط مرتفع ، كي لا يظهر القبر في المسجد ، فيصلى إليه العوام ، فيقعوا في اتخاذ قبره مسجداً ثم بنوا جدارين من ركني القبر الشماليين وحرفوهما حتى التقيا على زاوية مثلثة من جهة الشمال ، حتى لا يمكن استقبال القبر في الصلاة ، ولذا قالت : لولا ذلك لبرز قبره اهـ .
وهذا يبين أن اتخاذ القبر مسجداً ، هو السجود له ..
ومنها : ما رواه ابن سعد في الطبقات بإسناد صحيح عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم { اللهم لا تجعل قبري وثناً لعن الله قوماً اتخذوا من قبور أنبيائهم مساجد } جملة لعن الله قوماً ، بيان لمعنى جعل القبر وثناً .
ومعنى الحديث : اللهم لا تجعل قبري وثناً يسجد له ويعبد كما سجد قوماً لقبور أنبيائهم
ومنها : ما رواه البزار عن أبي سعيد الخدري : أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم قال { اللهم إني أعوذ بك من أن يتخذ قبري وثناً فإن الله تبارك وتعالى اشتد غضبه على قوم اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد} إسناده ضعيف ، لكن حديث أبي هريرة شاهد له .
ومنها : ما رواه ابن سعد في الطبقات قال : أخبرنا معن ابن عيسى ، أخبرنا مالك بن أنس ، عن زيد بن أسلم ، عن عطاء بن يسار ، أن رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم قال { اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد . اشتد غضب الله على قوم اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد } مرسل صحيح الإسناد .
ومنها : ما رواه ابن أبي شيسبة ، حدثنا أبو خالد الأحمر ، عن ابن عجلان ، عن زيد بن أسلم قال : قال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم { اللهم لا تجعل قبري وثناً يصلى له ، اشتد غضب الله على قوم ، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد } ورواه عبد الرازق ، عن معمر ، عن زيد به وإسناده صحيح . تقرر في علم المعاني : أن الجملتين إذا كانتا بمعنى واحد فإنهما يجردان عن العاطف ، كما في هذه الأحاديث ، لإفادة اتحادهما في المعنى .
هل للحديث معنى آخر ؟
ذكر كثير من شراح الحديث : أن اتخاذ القبور مساجد يحتمل معنيين : السجود لها وعبادتها ، كما سبق . وبناء المساجد عليها ، وهذا المعنى خطأ لا يصح ، وبيان ذلك من وجوه :
الأول : أنه مجاز ، والمجاز لا يجتمع مع الحقيقة في كلمة ، كما تقرر في علم البيان وهو الراجح عند جمهور الأصوليين .
الثاني : وعلى القول الضعيف بجواز اجتماعهما ، فإنما يمكن ذلك إذا كان في سياق نفي ، فيصح نفي الحقيقة ، والمجاز معاً في كلمة ، كأن يقال : ما رأيت أسداً ، ويراد الحيوان المفترس والرجل الشجاع ، والنفي أوسع دائرة من الإثبات . والفعل في الحديث مثبت ، وهو اتخذوا ، والفعل المثبت لا يعم ، فلا يراد به إلا الحقيقة ..
الثالث : أن بناء المساجد على القبور ، ثبت فيه حديث بخصوصه وهذا يبين أنهما معنيان مختلفان بالحقيقة والمجاز ..
Baca lebih lanjut

حِلْيَةُ الحُفَّاظ
شرح
منظومة الدمياطي في متشابه الآي والألفاظ

تأليف
محمود بن محمد عبد المنعم بن عبد السلام العبد

دار الأنصار
للطبع والنشر والتوزيع

حقوق الطبع لكل مسلم
بشرط المحافظة على المادة العلمية وجودة الإخراج

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي أنزل الكتاب المبين، فرفع به أقوامًا ووضع به آخرين، له الحمد كما ينبغي لجلال وجهه وعظيم سلطانه، حمدًا كثيرًا طيبًا على واسع فضله وجميل إحسانه، والصلاة والسلام على خير خلقه، وإمام رسله، محمد رسول رب العالمين، المبعوث رحمة للعالمين، وعلى آله الطيبين الطاهرين، وصحابته أجمعين، ومن سار على نهجهم وسلك طريقهم إلى يوم الدين.
وبعد، فإن الله عز وجل قد جعل القرآن الكريم نورًا مبينًا، وهاديًا لخلقه بشيرًا ونذيرًا، وجعل في اتباعه والتمسك به الرشاد والهداية، وفي مخالفته وهجره الضلال والغواية، وجعل لمن تعلَّمه وعمل به وعلَّمه جزيل الأجر، فشمر المجتهدون عن ساعد الجد، وهرول الراغبون في سبيل المجد، فهم طلبة العلم المخلصون، والدعاة إلى الله الصادقون، فأخذوه بقوة، فرفع الله قدرهم، وأعلى في العالمين ذكرهم.
وإن من علومه المباركة علم متشابه القرآن، وهو علم جليل لمن أراد مزيد الضبط والإتقان، وللعلماء فيه مصنفات كثيرة، ومنظومات جميلة جليلة، من هذه المنظومات منظومة الدمياطي رحمه الله، وهي منظومة طيبة جمع فيها كثيرًا من المتشابهات، وزاد فيها على ما في غيرها من المنظومات، فاستعنت بالله العظيم على شرحها، وتبيين مجملها وتوضيح ألفاظها، فأسأله سبحانه وتعالى من واسع فضله، وعظيم ثوابه وأجره، وأن ينفعني به والمسلمين، إنه هو الحق المبين، وهو حسبنا ونعم الوكيل، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

بسم الله الرحمن الرحيم
ابتدأ الناظم رحمه الله بالبسملة اقتداءً بكتاب الله عز وجل وسيرًا على نهج رسول الله صلى الله عليه وسلم والصحابة رضي الله عنهم أجمعين والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. إذ التسمية عند بدء كل عمل مطلوبة، حرص عليها رسول الله صلى الله عليه وسلم وحث عليها، كما صح عنه صلى الله عليه وسلم أنه كتب إلى هرقل يدعوه إلى الإسلام، فكان في كتابه إليه “بسم الله الرحمن الرحيم من محمد رسول الله إلى هرقل عظيم الروم، سلام على من اتبع الهدى”.
ومعنى البسملة في هذا المقام هو: بسم الله الرحمن الرحيم أنظم، أي أضع هذا النظم مستعينًا بالله عز وجل.
إلهي لك الحمد الذي أنت أهله وأوفى صلاة للذي جاء بالهدى
بعد البسملة شرع الناظم رحمه الله في حمد الله عز وجل والثناء عليه وبدأ بداية طيبة فقال: (إلهي لك الحمد) فبدأ بكلمة (إلهي) وفي تقديمها في الكلام تعظيمًا وتبركًا، وتقدير الكلام: يا إلهي، حذفت ياء النداء للقرب، قال تعالى: ﴿وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ﴾ [البقرة: 186]، والإله هو المعبود المعظم، وأما معنى قولنا (لا إله إلا الله) أي لا معبود بحق إلا الله عز وجل، فهو سبحانه المستحق للعبادة.
قوله: (لك الحمد) أسلوب قصر لأنه قدم الجار والمجرور (لك) على الاسم (الحمد). والحمد هو الشكر والرضا من حَمِدَهُ كَسَمِعَهُ تقول: حَمِدَهُ حَمْدًا ومَحْمِدًا ومَحْمَدًا ومَحْمِدَةً ومَحْمَدَةً.
وفرق قوم بين الحمد والشكر فقالوا: إن الحمد يكون باللسان والشكر يكون بالعمل بالجوارح لقول الله عز وجل: ﴿اعْمَلُوا آلَ دَاوُدَ شُكْراً﴾ [سـبأ: 13]. وقيل: الشكر يكون مقابل إحسان أما الحمد فلا يشترط فيه ذلك. وقيل: إن الحمد يكون خاصًا بأمور لا يختص بها الشكر. فتقول: حمدته على حسن خلقه وحمدت فيه حسن خلقه، ولكن لا تقول شكرت فيه حسن خلقه. وقيل غير ذلك.
والألف واللام في (الحمد) للاستغراق. فمعناه كل المحامد لله عز وجل، قال الله تعالى: ﴿فَلِلَّهِ الْحَمْدُ رَبِّ السَّمَاوَاتِ…﴾ [الجاثـية: 36] الآية.
قوله: (الذي أنت أهله) هو من أعظم الثناء، فما من أحد يستطيع أن يؤدي شكر نعمة الله عز وجل على وجه التكافؤ، فنعم الله عز وجل على الإنسان لا تعد ولا تحصى، والنعمة الواحدة لا يستطيع أحد أداء شكرها فكيف بكل هذه النعم. قال عز وجل: ﴿وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا﴾ [إبراهيم: 34]، والأمر يحتاج من الإنسان أن يتأمل ويتدبر في نعم الله عز وجل عليه وكيف يكون حاله إذا سلب نعمة واحدة من نعم الله عز وجل عليه؛ فالبصر نعمة والسمع نعمة والكلام نعمة، والوالدين نعمة، والطعام والشراب نعمة، وما ينقل الإنسان من مكان لآخر نعمة، والرسول صلى الله عليه وسلم والإسلام أعظم نعم الله عز وجل علينا، فلله الحمد والشكر كما ينبغي لجلال وجهه وعظيم سلطانه.
وقوله: (أهله) أي جدير به وحقيق أن توصف به، وكما جاء في الأثر (أهل الثناء والمجد).
قوله: (وأوفى) من وَفَى يَفِي وفاءً، وأوفى فلانًا حقه أي أعطاه إياه تامًا وافيًا من غير نقص.
قوله: (وأوفى صلاة للذي جاء بالهدى) أي أتم وأعظم صلاة على الذي جاء بالهدى وهو المصطفى صلى الله عليه وسلم. قال تعالى: ﴿هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقّ﴾ [التوبة: 33].
وذكر المؤلف رحمه الله هنا الصلاة بدون السلام، وكره بعض العلماء ذلك. وقالوا بضرورة ملازمة السلام للصلاة عليه صلى الله عليه وسلم، واستدلوا بقول الله تعالى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾ [الأحزاب: 56]. قال النووي رحمه الله في شرح مسلم: “ثم إنه يُنْكر على مسلم رحمه الله كونه اقتصر على الصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم دون التسليم وقد أمرنا الله تعالى بها جميعًا فقال تعالى: ﴿صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾ فكان ينبغي أن يقول: وصلى الله على محمد. فإن قيل: فقد جاءت الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم غير مقرونة بالتسليم وذلك في آخر التشهد في الصلوات. فالجواب أن السلام تقدم قبل الصلاة في كلمات التشهد وهو قوله: سلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته. ولهذا قالت الصحابة رضي الله عنهم: “يا رسول الله قد علمنا السلام عليك فكيف نصلي عليك…” الحديث. وقد نص العلماء رضي الله عنهم على كراهة الاقتصار على الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم من غير تسليم. والله أعلم”. انتهى كلام النووي رحمه الله.
والصلاة لغة هي الدعاء، وصلى عليه أي دعا له بالخير قال الله تعالى: ﴿خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ﴾ [التوبة: 103]. قال ابن كثير رحمه الله: (وصل عليهم) أي ادع لهم واستغفر لهم. كما رواه مسلم في صحيحه عن عبد الله بن أبي أوفى قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أتي بصدقة قوم صلى عليهم، فأتاه أبي بصدقة فقال: ((اللهم صل على آل أبي أوفى)). وفي الحديث الآخر أن امرأة قالت: يا رسول الله صل عليَّ وعلى زوجي، فقال: ((صلى الله عليك وعلى زوجك)). انتهى.
وفي صحيح مسلم أيضًا قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((إذا دعي أحدكم إلى الطعام فليجب فإن كان صائمًا فليصل)).
والصلاة من الله عز وجل على رسوله صلى الله عليه وسلم هي ثناؤه عليه في الملأ الأعلى وإعلاء ذكره وتشريفه صلى الله عليه وسلم.
وأما ما ورد من تفسير الصلاة بالرحمة فرده بعض أهل العلم لقوله تعالى: ﴿أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ﴾ [البقرة: 157] فعطف الرحمة على الصلوات، فدل ذلك على كونهما مختلفتين لأنه لو كان معنى الصلاة هو الرحمة لكان معنى الآية: أولئك عليهم رحمات من ربهم ورحمة، قال ذلك غير واحد من أهل العلم.
والكلام على الصلاة والسلام على رسول الله صلى الله عليه وسلم يطول ذكره وفيه كلام كثير لأهل العلم رحمهم الله، فمنهم من أوجبها كلما ذكر النبي صلى الله عليه وسلم، ومنهم من أوجبها مرة في كل مجلس يذكر فيها النبي صلى الله عليه وسلم، ومنهم من أوجبها مرة واحدة في العمر، ومنهم من جعل الأمر فيها على الاستحباب وليس هذا موضع بسط ذلك، ولكن نشير إلى أنه لا ينبغي لمسلم أن يذكر عنده النبي صلى الله عليه وسلم ثم لا يصلي عليه، بل ينبغي عليه أن يصلي ويسلم علي النبي صلى الله عليه وسلم كلما ذكر وابتداءً بدون أن يذكر؛ حتى ينال الثواب من الله عز وجل.
فعنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: ((من صلى عليَّ حين يصبح عشرًا وحين يمسي عشرًا أدركته شفاعتي يوم القيامة)).
وقال أيضًا: ((من صلى عليّ واحدة صلى الله عليه بها عشرًا)).
وقال أيضًا : ((من صلى عليَّ واحدة صلى الله عليه عشر صلوات وحط عنه عشر خطيئات ورفع له عشر درجات)).
وفي تفسير القرطبي: قال أبو سليمان الداراني: من أراد أن يسأل الله حاجة فليبدأ بالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يسأل الله حاجته، ثم يختم بالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم فإن الله تعالى يقبل الصلاتين وهو أكرم من أن يرد ما بينهما. وروى سعيد بن المسيب عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه أنه قال: الدعاء يُحْجَبُ دون السماء حتى يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم فإذا جاءت الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم رفع الدعاء. انتهى.
وقوله: (بالهدى) الهدى هو اسم من أسماء القرآن الكريم، قال تعالى: ﴿هُدىً وَرَحْمَةً لِلْمُحْسِنِينَ﴾ [لقمان:3]، وقال: ﴿هُدىً وَبُشْرَى﴾ [النمل:2]، ولعل الناظم أراد بالهدى كل ما أتى به النبي صلى الله عليه وسلم على وجه العموم، وهو أولى لأنه يجمع القرآن والسنة وعاداته صلى الله عليه وسلم. والله أعلم.
وبعد فذا جمع لبعض مشابه
نحوت بـها نحو السخاوي وغالبًا
من ألفاظ قرآن على قارئ جلا
أزيد زيادات يدين لها الحجا
Baca lebih lanjut

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(1) أَبْـدَأُ بالْحَـمْـدِ مُصَلِّيَـاً عَلَـى
مُحَـمَّـدٍ خَيْـرِ نَبِـيٍّ أُرْسِـلاَ
(2) وذِي مِنْ أَقْسَـامِ الْحَـدِيثِ عِدَّهْ
وَكُــلُّ وِاحِـدٍ أَتَـى وَحَـدَّهْ
(3) أَوَلُهَـا الصَّحِيحُ وَهْـوَ مَا اتَّصَلْ
إِسْـنَـادُهُ وَلَمْ يُشَـذَّ أَوْ يُعَـلّ
(4) يَرْوِيـهِ عَدْلٌ ضَـابِطٌ عَـنْ مِثْلِهِ
مُعْتَـمَدٌ فِي ضَـبْـطِهِ وَنَقْلِـهِ
(5) والْحَسَــنُ الْمَعْرُوفُ طُرْقَاً وَغَدَتْ
رِجَـالُهُ لاَ كَالصَّحِيـحِ اشْتَهَرَتْ
(6) وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الحُسْنِ قَصُـرْ
فَهْـوَ الضَّعِيفُ وَهْـوَ أَقْسَامٌ كَثُرْ
(7) وَمَا أُضِيـفَ للنَّبِـيِّ الْمَرْفُوعُ
و مَـا لِـتَـابِـعٍ هُـوَ الْـمَقْطُــوعُ
(8) وَالْمُسْنَدُ الْمُتَّصِلُ الإِسْنَادِ مِـنْ
رَاوِيـهِ حَـتَّى الْمُصْطَـفَى وَلَمْ يَبِنْ
(9) وَ مَا بِسَـمْـعِ كُلِّ رَاوٍ يَتَّصِـلْ
إسْـنَـادُهُ للْمُصْـطَفَـى فالْمُتَّصِـلْ
(10) مُسَلْسَلٌ قُلْ مَا عَلَى وَصْفٍ أَتَى
مِثْـلُ أَمَـا وَاللَّهِ أَنْـبَـأَنِي الْفَـتَى
(11) كَذَاكَ قَـدْ حَدَّثَنِـيهِ قَائِمـاً
أَوْ بَـعْـدَ أَنْ حَـدَّثَـنِي تَبَسَّـمَا
(12) عَـزِيزٌ مَرْوِيُّ اثْنَيْنِ أَوْ ثَلاَثَـهْ
مَشْهُـورٌ مَـرْوِيُّ فَوْقَ مَـا ثَلاَثَـهْ
(13) مُعَنْعَنٌ كَعَنْ سَعِيدٍ عَنْ كَـرَمْ
ومُبْهَــمٌ مَـا فِيـهِ رَاوٍ لَمْ يُسَـمْ
(14) وَكُلُّ مَا قَلَّـتْ رِجَـالُهُ عَلاَ
وَضِـدُّهُ ذَاكَ الَّـذِي قَـدْ نَـزَلاَ
(15) وَمَا أَضَفْتُهُ إِلَى الأَصْحَابِ مِنْ
قَوْلٍ وَفِعْـلٍ فَهْـوَ مَوْقُوفٌ زُكِنْ
(16) وَمُرْسَلٌ مِنْهُ الصَّحَـابِيُّ سَقَـطْ
وَقُـلْ غَرِيْبٌ مَا رَوَى رَاوٍ فَقَـطْ
(17) وَ كُـلُّ مَا لَمْ يَتَّصِـلْ بِحَــالِ
إِسْــنَــادُهُ مُنْقَطِعُ الأَوْصَــالِ
(18) وَالْمُعْضَلُ السَّـاقِطُ مِنْهُ اثْنَـانِ
وَ مَـا أَتَــى مُدَلَّسَاً نَوْعَــانِ
(19) الأَوْلُ الإِسْـقَاطُ للشَّيْخِ وَأَنْ
يَنْـقُـلَ عَـمَّـنْ فَوْقَهُ بِعَنْ وَأَنْ
(20) وَ الثَّانِ لاَ يُسْقِطُهُ لَكِنْ يَصِفْ
أَوْصَـافُهُ بِمَـا بِـهِ لاَ يَنْعَـرِفْ
(21) وَ مَـا يُخَـالِفُ ثِقَةٌ فِيهِ الْمَلاَ
فَالشَّاذُّ وَ الْمَقْلُوَبُ قِسْـمَـانِ تَلاَ
(22) إِبْـدَالُ رَاوٍ مَـا بِرَاوٍ قِسْـمُ
وَ قَلْـبُ إِسْنَـادٍ لِمَتْـنٍ قِسْـمُ
(23) وَالْفَرْدُ مَـا قَيَّـدْتَهُ بِـثِقَـةِ
أَوْجَمْـعٍ أَوْ قَصْـرٍ عَلَـى رِوَايَةِ
(24) وَ مَا بِعِلَّـةٍ غُمُوضٍ أَوْ خَفَـا
مُعَـلَّلٌ عِـنْـدَهُـمُ قَـدْ عُـرِفَا
(25) وَ ذُو اخْتِلاَفِ سَنَـدٍ أَوْ مَتْـنِ
مُضْطَّرِبٌ عِنْـدَ أُهَـيْلِ الْـفَـنِّ
(26) والْمُدْرَجَاتُ فَي الْحَدِيثِ مَا أَتَتْ
مِـنْ بَعْـضِ أَلْفَاظِ الرُّوَاةِ اتَّصَلَتْ

(27) وَمَا رَوَى كُـلُّ قَرِينٍ عَنْ أَخِـهْ
مُدَبَّجٌ فَاعْـرِفْهُ حَقَـاً وَ انْتَخِـهْ
(28) مُتَّفِـقٌ لَفْـظَـاً وَخَطَّـاً مُتَّفِقْ
وَ ضِـدُّهُ فِيمَـا ذَكَرْنَا المُفْتَرِقْ
(29) مُؤْتَلِفٌ مُتَفِـقُ الْخَـطِّ فَقَـطْ
وَ ضِدُّهُ مُخْتَلِفٌ فَاخْشَ الْغَلَـطْ
(30) والْمُنْكَرُ الْفَـرْدُ بِهِ رِاوٍ غَدَا
تَـعْدِيـلُهُ لاَ يَحْمِـلُ التَّفَـرُّدَا
(31) مَتْرُوكُهُ مَـا وَاحِدٌ بِهِ انْفَرَدْ
وَأَجْمَعُـوا لِضَعْفِـهِ فَهُـوَ كَرَدّ
(32) و الْكَذِبُ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْـنُوعُ
عَـلَى النَّبِـيِّ فَذَلِكَ الْمَوْضُوعُ
(33) وَقَدْ أَتَتْ كَالْجَوْهَرِ الْمَكْنُـونِ
سَمَّـيْـتُهَـا مَنْظُوْمَةَ الْبَيْقُونِي
(34) فَـوْقَ الثَّـلاَثِينَ بِأَرْبَعٍ أَتَـتْ
أَبْـيَاتُهَـا ثُمَّ بِخَيْـرٍ خُتِـمَتْ

إهداء من موقع شبكة زاد المعاد الاسلامية لموقع صيد الفوائد

كتاب الناسخ والمنسوخ لقتادة بن دعامة السدوسي

,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

الناسخ والمنسوخ لقتادة [ جزء 1 – صفحة 31 ]

أخبرنا الفقيه المكي أبو الحرم مكي بن عبد الرحمن بن سعيد بن عتيق وجماعة قال أنا الحافظ شيخ الإسلام فخر الأنام جمال الحفاظ أبو طاهر أحمد بن محمد بن أحمد بن محمد بن إبراهيم بن سلفة السلفي الأصبهاني في العشر الآخر من صفر سنة اثنتين وسبعين وخمس مائة بثغر الإسكندربة في منزله قراءة عليه وأنا أسمع قلت وفي طبقة السماع بخط السلفي هذا تسميع صحيح كما كتب وكتب أحمد بن محمد الأصبهاني قال أخبرنا الشيخ أبو الحسين المبارك بن

,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

الناسخ والمنسوخ لقتادة [ جزء 1 – صفحة 32 ]

عبد الجبار بن أحمد الصيرفي ببغداد من أصل سماعه أنا أبو طاهر محمد بن علي بن يوسف بن العلاف أنا أبو بكر أحمد بن جعفر ابن محمد بن سلم الختلي أنا أبو خليفة الفضل بن الحباب الجمحي ثنا محمد بن كثير العبدي ثنا همام بن يحيى 66 ب قال سمعت قتادة يقول في قول الله عز وجل فأينما تولوا فثم وجه الله 10 قال كانوا يصلون نحو بيت المقدس ورسول الله صلى الله عليه وسلم بمكة قبل الهجرة وبعدما هاجر رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى نحو بيت المقدس ستة عشر شهرا ثم وجهه الله تعالى نحو الكعبة البيت الحرام
وقال في آية أخرى فلنولينك قبلة ترضها فول وجهك شطر المسجد الحرام وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره 12 أي تلقاءه ونسخت هذه ما كان قبلها من أمر القبلة

,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

الناسخ والمنسوخ لقتادة [ جزء 1 – صفحة 33 ]

Baca lebih lanjut

جامعة الأزهر
كلية أصول الدين والدعوة
حولية الكلية
العدد السابع عشر

اختلاف المفسرين
أسبابه وضوابطه

إعداد
أحمد محمد الشرقاوي
أستاذ التفسير وعلوم القرآن المساعد بكلية أصول الدين والدعوة
جامعة الأزهر
بحث محكم وصالح للنشر بالحولية
العدد السابع عشر
1425 هـ – 2004 م

بسم الله الرحمن الرحيم
المقدمة
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات ، وهو الذي يقبل التوبة عن عباده ويعفو عن السيئات ، ونشهد أن لا إله إلا الله شهادة حق نسأله تعالى أن يثبتنا عليها في الحياة وعند الممات ، ونشهد أن محمدا عبده ورسوله بعثه رحمة لجميع الكائنات ، وأرسله بالهدي ودين الحق ليظهره علي سائر الديانات ، وأنزل عليه آيات بينات ، وبراهين نيرات ، عصمة ونجاة ، ودستورا للحياة ، من سار علي دربه فاز بالجنات ومن أعرض عنه وسار وراء الأهواء والضلالات مُـني بالحسرات وطُرح في الدركات 0
وبعد فالقرآن الكريم هو الحجة البالغة والمعجزة الخالدة معين لا ينضب وعطاء متجدد ونهر فياض وبحر لا ساحل له ، لا عزة ولا كرامة إلا لمن استمسك به قال تعالى فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ إِنَّكَ عَلَي صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ {43} وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَّكَ وَلِقَوْمِكَ وَسَوْفَ تُسْأَلُونَ {44} سورة الزخرف
كتاب عزيز : عزيز لأنه نزل من عند العزيز ، عزيز لأنه سبيل العزة لكل من آمن به ، عزيز لا مثيل له ولا شبيه فهو كتاب فريد 0
عزيز : بعيد عن أيدي العابثين التي امتدت إلى الكتب السابقة بالتحريف والتبديل ، بعيد عن أي تناقض أو اضطراب قال تعالى  وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ {41} لا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ ولا مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ  سورة فصلت{42} وقال جل وعلا أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا  النساء {82}
فلو كان من عند غير الله لاختلفت أحكامه وتناقضت معانيه ، لكن المتأمل في قصصه وأمثاله وحكمه وأحكامه وما فيه من الوعد والوعيد مع التكرار والتنوع في العرض والتفنن في الأساليب لا يجد فيه أدني اختلاف أو تفاوت .
ومصداق هذا أيضا قوله عز وجل في سورة الزمر اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَي ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَي اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاء وَمَن يُضْلِلْ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ {23} يشبه بعضه بعضا في كونه على أعلى رتبة في الفصاحة والبيان وروعة النظم وجمال الأساليب وسمو المقاصد ورفعة المعاني .
هذا وإن دراسة اختلاف المفسرين ومعرفة أسبابه وأنواعه وضوابطه من الأمور الضرورية التي لا غني عنها ؛ لمعرفة كيف نتعامل مع كتب التفسير ، سيما ما ورد فيها من أقوال متعددة متنوعة ، ومعرفة كيف نميز بين الاختلاف المحمود وبين الاختلاف المذموم ، وكيف نرد على أعداء ديننا الذين جعلوا من الاختلاف ذريعة للطعن في كتاب الله تعالى بل وجعلوا من الأقوال الشاذة والروايات الواهية ملمزا ومُدَّخلا لمطاعنهم وأباطيلهم .
ومن أدعياء الإسلام من بات يوجه الافتراءات إلي المفسرين جميعا دون تفريق بين المحققين منهم وحاطبي الليالي : الذين يجمعون وينقلون دون تمييز بين الغث والسمين ، بين الصحيح والسقيم ولا بين مفسري أهل السنة والجماعة ومفسري الفرق الضالة الذين حمّلوا النصوص ما لا تحتمل ، يلوون الكلم عن مواضعه بكل تعسف وتكلف وإعراض وعناد وإصرار واستكبار ، قاتلهم الله أنى يؤفكون .
Baca lebih lanjut